You need to enable javaScript to run this app.

BATINKU MASIH HIDUP

Oleh : Annisa Aulia Rosyida

Hari ini masih sama seperti kemarin.
Bangunku dari tidur, menghadapkanku pada mentari.
Namun renungku sebelum lelap, hanya menyaksikan tangisan hati.
Lewat puisi ini, izinkan aku menyuarakan batinku yang terlalu sering dilukai.

        Terlalu berat menjalani hidup sendiri. 
        Membiarkan mereka berlayar pergi.
        Disini, aku melatih diri untuk menertawakan sunyi. 
        Hingga pada akhirnya, aku terselimuti oleh perih.

Badai dan petir bertaruh.
Melahirkan sebuah batin yang tak sepenuhnya pernah sembuh. 
Layaknya pijar yang redup.
Seperti itulah aku menggambarkan hidup.
    
        “Kedewasaan” menuntutku sebelum waktunya.
        Ketika aku disini, aku berusaha sendiri mengobati hati. 
        Sementara tak jauh dari pandangku,
        Aku melihat rekahnya senyum orang-orang yang membuat jiwaku lumpuh.

Kemarin, baru saja aku mengobati luka. 
Hari ini, aku menata.
Mungkinkah esok akan terukir luka yang baru?
Dalam lemahku, aku tumbuh membaru dengan lukaku.

        Aku adalah pemimpi.
        Namun, realita belum mampu mewujudkannya. 
        Batinku ingin menyambut datangnya bahagia.
        Meski pada akhirnya yang menghampiriku adalah kecewa.

Bahu yang ku sandari telah pergi.
Hidupku layaknya lukisan yang hilang bentuk.
Mimpiku tetaplah mimpi belaka, meski hati telah berkali-kali mengetuk.

        Aku lelah.
        Sering kali terlintas dalam benak sebuah kata, yaitu “menyerah”. 
        Kecewa dan amarah mengikat hati begitu parah.
        Semua jalar dan duri itu menggoresku hingga berdarah.

Ku lemparkan hatiku yang beku.
Oleh jiwa yang telah lama terbelunggu. 
Batinku cacat dimakan waktu.
Sedangkan dunia, terus memaksaku untuk sembuh.

        Batinku masih keruh layaknya mata. 
        Mata yang tak lagi bersinar seiring luka. 
        Di benakku terlalu banyak tanda tanya.
        Mengapa aku masih merasakan perihnya luka yang menganga?

Hatiku telah lama terbelah.
Ibarat cangkang yang kosong dan terpisah. 
Jika sembuh adalah tugasku.
Lalu, mengapa luka baru terus menggoreskan dirinya di lubuk hatiku setiap waktu?

        Apalah guna hidup jika hanya menderai lebih banyak air mata? 
        Untuk apa aku bertahan hidup bila hanya untuk berteriak letih karena  kecewa?
        Dunia seakan menyuruhku pergi. 
        Hidupku tak lagi punya arti.

Hatiku terlalu rapuh untuk dipatahkan. 
Lukaku terlalu sulit untuk disembuhkan. 
Amarahku terlalu sering ku pendamkan.
Dan senyumanku, setiap waktu ku tampakkan.

        Batinku masih belum juga mati.
        Meski, ia hanya berupa tawa palsu yang ku ukir setiap hari.
Bagikan artikel ini:

Beri Komentar

Syaiful Rahman Dasuki, S.Pd.M.M.Pd

- Kepala Sekolah -

Assalamu’alaikum Wr.Wb.Salam sejahtera buat kita semua.Asa yang terpatri untuk memantapkan visi: “Cerdas, terampil, berbudaya, religus dan berwawawan lingkungan”. Sebuah...

Album Galeri

Galeri
Galeri

Video

Berlangganan
Jajak Pendapat

Bagaimana Tampilan Website ini?

Hasil
Banner