You need to enable javaScript to run this app.

IMPLEMENTASI PROGRAM SEKOLAH PENGGERAK DI SMP NEGERI 1 SUMENEP

IMPLEMENTASI PROGRAM SEKOLAH PENGGERAK DI SMP NEGERI 1 SUMENEP

Bagian 1. Konsepsi Pembelajaran yang memerdekakan dan Revitalisasi Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara

Oleh : Bpk. Syaiful Rahman Dasuki, S.Pd.,M.M.Pd.

Antara konsepsi dan implementasi adalah sebuah hubungan korelasi positif. Bahwa dengan konsepsi yang baik niscaya bisa diharapkan implementasi yang baik pula. Dalam kerangka Pendidikan, konseptual sekolah penggerak yang dicanangkan Kemendikbud di tahun 2021 ini adalah sebuah kerangka dasar pengembangan Pendidikan ke depan. Tentunya adalah sebuah kelanjutan dari transformasi Pendidikan sebelumnya.
Konsepsi sekolah penggerak dibangun dengan penyempurnaan tranformasi Pendidikan sebelumnya dengan lebih memperhatikan pada pengembangan filosofi pembelajaran yang memerdekakan, profil pelajar pancasila, dan implikasinya. Filosofi pembelajaran yang memerdekakan dikembangkan berdasarkan pemikiran Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara. Sedangkan profil pelajar Pancasila adalah wujud ideal pelajar Indonesia yang dicita-citakan. Kedua konsepsi inilah yang hendak diimplementasikan guna menuju Pendidikan.
Untuk mencapai kemerdekaan Belajar, Ki Hajar Dewantara Mempunyai pemikiran dua hal. Pertama: Pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat kebangsaan. Beliau membuat koneksi antara Pendidikan dan kebudayaan. Bahkan merupakan satu kesatuan. Menurut beliau untuk mencapai kebudayaan yang kita mimpikan atau peradaban bangsa yang dicita-citakan, Pendidikan adalah fondasinya. Pendidikan adalah fondasi pembentukan peradaban bangsa. Dengan metafora yang apik beliau menyatakan sebagai tempat persemaian benih-benih kebudayaan.Dengan kata lain, pendidikan tidak hanya sekedar anak bersekolah, ujian hasilnya baik, dan lain sebagainya, tapi adalah sebuah tugas untuk membentuk peradaban.
Kedua, adalah filsafat perubahan. Kebudayaan adalah seuatu yang dinamis. Tidak statis. Terus bergerak. Namun bergerak sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Jika kebudayaan terisolasi, maka kebudayaan itu sedang menunggu kehancuran. Demikian pula Pendidikan. Tidak boleh statis. Terus berubah. Menjawab tuntutan zamannya.
Sebagai analogi seperti perputaran planet-planet tata surya. Jika planet tersebut berhenti berputar, maka akan tejadi “Chaos”. Semua planet tersebut harus terus bergerak (tidak pernah berhenti). Artinya perubahan adalah hal yang terus terjadi. Planet-planet di dalam tata surya memiliki variasi. Ada yang besar dan ada yang kecil. Ada yang perputarannya cepat dan ada yang lambat. Artinya dalam kebudayaan pun sangatlah bervariasi. Tidak ada kebudayaan yang sama. Ketika kita melakukan pertukaran kebudayaan, bukan berarti kita akan menyamakan semua kebudayaan. Tetapi untuk menguatkan identitas masing-masing. Masing-masing kebudayaan terus berputar pada sumbu yang sama. Dan sumbunya adalah nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan pun demikan. Tidak ada anak yang sama. Secara fitrah masing-masing anak berbeda satu dengan lainnya. Mereka memiliki keunikannya sendiri. Mereka memiliki kemampuan yang unik berbeda dari teman-temannya. Mereka memiliki “orbitnya” dan kecepatan masing-masing. Tidak bisa dipaksakan seorang anak untuk menjadi seperti orang lain. Namun bergerak pada satu sumbu yakni pengembangan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam kerangka perubahan, Ki Hajar Dewantara menggagas dengan pemikiran 3 kerangka perubahan:

1. Kodrat Keadaan

Dalam melakukan perubahan kita harus memperhatikan kodrat keadaan yang terbagi menjadi dua, yakni
a. Kodrat alam
Kodrat alam terkait dengan kondisi lingkungan alamiah dimana siswa barada. Seperti bertempat tinggal di daerah pertanian, daerah pesisir atau daerah pegunungan.
b. Kodrat Zaman
Kodrat zaman berkaitan dengan perkembangan dari waktu ke waktu. Suatu daerah semisal Jakarta, akan berbeda keadaannya antara saat ini dengan Jakarta di tahun 70-an. Masing-masing zaman memiliki karakteristik dan tantangan sendiri. Pada saat ini kita sedang menjawab tantangan Revolusi Industri 4.0. yang ditandai dengan revolusi teknologi informasi yang berkembang eksponensial.

2. Prinsip Perubahan

Dalam melaksanakan perubahan, Ki Hajar menggagas dengan 3 azas yakni
a. Azas Kontinuitas
Artinya dalam melakukan perubahan, Pendidikan harus melakukan dialog kritis dengan sejarah untuk maju ke depan. Tidak lupa akar budaya yang hakiki dari masyarakat kita. Walaupun perubahan sesuatu yang harus terjadi, tetapi esensi dari kebudayaan harus tetap menjadi pijakan dalam melakukan perubahan tersebut..
b. Azas Konvergensi
Perubahan harus mengarah pada satu titik. Yakni memperkuat nilai-nilai kemanusiaan. Dalam konteks ini, Pendidikan haruslah memanusiakan dan memperkuat nilai-nilai kemanusiaan,
c. Azas Konsentris
Perubahan tersebut harus menghargai keragaman. Dalam Pendidikan, harus memandang keragaman siswa yang unik. Sehingga Pendidikan harus memerdekan siswa untuk menjadi dirinya sendiri. Semua tumbuh dengan kodratnya.

3. Hal Yang Berubah

Yang berubah adalah Budi Pekerti. Disini ada dua kata: Budi dan Pekerti.
a. Budi: terdiri dari tiga komponen yakni Cipta, Rasa dan Karsa.
b. Pekerti: Tenaga

Dalam hal ini Pendidikan harus seimbang antara olah cipta (menajamkan pikiran), olah rasa ( menajamkan rasa), olah karsa (memperkuat kemauan) dan olah raga (menyehatkan jasmani). Selanjutnya kesimbangan ini akan membawa kesempurnaan budi pekerti yang akan mengantarkan anak pada kebijaksanaan.
Dengan kata lain, Pendidikan haruslah seimbang dan holistik. Hal ini akan menghasilkan insan-insan yang penuh kebijaksanaan. Pada akhirnya semua disiplin ilmu harus menuju pada kebijaksanaan.

Berikut ini Ringkasan Pemikiran KI Hajar Dewantara yang diambil penulis dari buku Dasar-Dasar Pendidikan dan Keluarga, Th. I No.1,2,3,4., Nov, Des 1936., Jan, Febr. 1937

1. Arti dan Maksud Pendidikan

Kata ‘Pendidikan’ dan ‘Pengajaran’ itu seringkali dipakai Bersama-sama. Sebenarnya gabungan kedua kata itu dapat mengeruhkan pengertiannya yang asli. Ketahuilah, pembaca yang terhormat, bahwa sebenarnya yang dinamakan ‘pengajaran’ (onderwijs) itu merupakan salah satu bagian dari Pendidikan. Maksudnya, pengajaran itu tidak lain adalah Pendidikan dengan cara memberi ilmu atau berfaedah buat hidup anak-anak, baik lahir maupun batin.
Sekarang saya akan menerangkan arti dan maksud Pendidikan (opvoeding) pada umumnya. Dengan sengaja saya memakai keterangan ‘pada umumnya’, karena dalam arti khususnya, Pendidikan mempunyai beragam jenis pengertian. Bisa dikatakan bahwa tiap-tiap aliran hidup, baik aliran agama maupun aliran kemasyarakatan mempunyai maksud yang berbeda. Tidak hanya maksud dan tujuannya yang berbeda-beda, cara mendidiknya juga tidak sama. Mengenai keadaan yang penting ini, saya akan menerangkan secara lebih luas.
Walaupun bermacam-macam maksud, tujuan, cara, bentuk, syarat-syarat dan alat-alat dalam soal Pendidikan, Pendidikan yang berhubungan dengan aliran-aliran hidup yang beragam itu memiliki dasar-dasar atau garis-garis yang sama. Menurut pengertian umum, berdasarkan apa yang dapat kita saksikan dalam beragam jenis Pendidikan itu, Pendidikan diartikan sebagai ‘tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak’. Maksud Pendidikan yaitu: menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.

2. Hanya Tuntunan dalam Hidup

Pertama kali harus diingat, bahwa Pendidikan itu hanya suatu ‘tuntunan’ di dalam hidup tumbuhnya anak-anak kita. Artinya, bahwa hidup tumbuhnya anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak kita kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, manusia, dan benda hidup, sehingga mereka hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Seperti penjelasan sebelumnya, bahwa ‘kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu’ tiada lain ialah segala kekuatan yang ada dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-anak itu karena kekuasaan kodrat.
Kita kaum pendidik hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan-kekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu. Uraian tersebut akan lebih jelas jika kita ambil contoh perbandingannya dengan hidup tumbuh-tumbuhan seorang petani (dalam hakikatnya sama kewajibannya dengan seorang pendidik) yang menanam padi misalnya, hanya dapat menuntun tumbuhnya padi, ia dapat memperbaiki kondisi tanah, memelihara tanaman padi, memberi pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu hidup tanaman padi dan lain sebagainya.
Meskipun pertumbuhan tanaman dapat diperbaiki, tetapi ia tidak dapat mengganti kodrat-iradatnya padi. Misalnya ia tak akan dapat menjadikan padi yang ditanamnya itu tumbuh sebagai jagung. Selain itu, ia juga tidak dapat memelihara tanaman padi tersebut seperti hanya cara memelihara tanaman kedelai atau tanaman lainnya. Memang benar, ia dapat memperbaiki keadaan padi yang ditanam, bahkan ia dapat juga menghasilkan tanaman padi itu lebih besar daripada tanaman yang tidak dipelihara, tetapi mengganti kodrat padi itu tetap mustahil. Demikianlah Pendidikan itu, walaupun hanya dapat ‘menuntun’, akan tetapi faedahnya bagi hidup tumbuhnya anak-anak sangatlah besar.

3. Perlukah Tuntunan Pendidikan itu?

Meskipun Pendidikan itu hanya ‘tuntunan’ saja di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, tetapi perlu juga Pendidikan itu berhubungan dengan kodrat keadaan dan keadaannya setiap anak. Andaikata anak tidak baik dasarnya, tentu anak tersebut perlu mendapatkan tuntunan agar semakin baik budi pekertinya. Anak yang dasar jiwanya tidak baik dan juga tidak mendapat tuntunan Pendidikan, tentu akan mudah menjadi orang jahat. Anak yang sudah baik dasarnya juga masih memerlukan tuntunan.
Tidak saja dengan tuntunan itu ia akan mendapatkan kecerdasan yang lebih tinggi dan luas, akan tetapi dengan adanya tuntunan itu ia dapat terlepas dari segala macam pengaruh jahat. Tidak sedikit anak-anak yang baik dasarnya, tetapi karena pengaruh pengaruh keadaan yang buruk, kemudian menjadi orang-orang jahat. Pengaruh-pengaruh yang dimaksudkan itu ialah pengaruh yang muncul dari beragam jenis keadaan anak. Anak yang satu mungkin hidup dalam keluarga yang serba kekurangan, sehingga ditemui beragam jenis kesukaran yang menghambat kecerdasan budi anak. Bisa juga dalam keluarga itu tidak ditemui kemiskinan keduniawian, akan tetapi amat kekurangan budi luhur atau kesucian,sehingga anak-anak mudah terkena pengaruh-pengaruh yang jahat.
Menurut ilmu Pendidikan, hubungan antara dasar dan keadaan itu terdapat adanya ‘konvergensi’. Artinya, keduanya saling mempengaruhi, hingga garis dasar dan garis keadaan itu selalu tarik-menarik dan akhirnya menjadi satu. Mengenai perlu tidaknya tuntunan dalam kehidupan manusia, sama artinya dengan soal perlu tidaknya pemeliharaan pada tumbuh-kembangnya tanaman. Misalnya, kalau sebutir jagung yang baik dasarnya jatuh pada tanah yang baik, banyak air, dan mendapatkan sinar matahari yang cukup, maka pemeliharaan dari bapak tani tentu akan menambah baiknya keadaan tanaman. Kalau tidak ada pemeliharaan, sedangkan keadaan tanahnya tidak baik, atau tempat jatuhnya biji jagung itu tidak mendapat sinar matahari atau kekurangan air, maka biji jagung itu (walaupun dasarnya baik), tidak akan dapat tumbuh baik karena pengaruh keadaan. Sebaliknya kalau sebutir jagung tidak baik dasarnya, akan tetapi ditanam dengan pemeliharaan yang sebaik-baiknya oleh bapak tani, maka biji itu akan dapat tumbuh lebih baik daripada biji lainnya yang juga tidak baik dasarnya.

4. Dasar Jiwa Anak dan Kekuasaan Pendidikan

Yang dimaksud dengan istilah ‘dasar-jiwa’ yaitu keadaan jiwa yang asli menurut kodratnya sendiri dan belum dipengaruhi oleh keadaan di luar diri. Dengan kata lain, keadaan jiwa yang dibawa oleh anak ketika lahir di dunia. Mengenai dasar jiwa yang dimiliki anak-anak itu, terdapat tiga aliran yang berhubungan dengan soal daya Pendidikan.
Pertama, yaitu anak yang lahir di dunia itu diumpamakan seperti sehelai kertas yang belum ditulis, sehingga kaum pendidik boleh mengisi kertas yang kosong itu menurut kehendaknya. Artinya, si pendidik berkuasa sepenuhnya untuk membentuk watak atau budi seperti yang diinginkan. Teori ini dinamakan teori rasa (lapisan lilin yang masih dapat dicoret-coret oleh si pendidik). Namun, aliran ini merupakan aliran lama yang sekarang hampir tidak diakui kebenarannya di kalangan kaum cendikiawan.
Kedua, ialah aliran negatif, yang berpendapat, bahwa anak itu lahir sebagai sehelai kertas yang sudah ditulisi sepenuhnya, sehingga Pendidikan dari siapapun tidak mungkin dapat mengubah karakter anak. Pendidikan hanya dapat mengawasi dan mengamati supaya pengaruh-pengaruh yang jahat tidak mendekati diri anak. Jadi, aliran negatif menganggap bahwa Pendidikan hanya dapat menolak pengaruh-pengaruh dari luar, sedangkan budi pekerti yang tidak nampak ada di dalam jiwa anak tak akan diwujudkan.
Ketiga, ialah aliran yang terkenal dengan nama convergentie-theorie. Teori ini mengajarkan, bahwa anak yang dilahirkan itu diumpamakan sehelai kertas yang sudah ditulisi penuh, tetapi semua tulisan-tulisan itu suram. Lebih lanjut menurut aliran ini, Pendidikan itu berkewajiban dan berkuasa menebalkan segala tulisan yang suram dan yang berisi baik, agar kelak nampak sebagai budi pekerti yang baik. Segala tulisan yang mengandung arti jahat hendaknya dibiarkan, agar jangan sampai menjadi tebal, bahkan makin suram.

5. Tabiat yang Dapat dan yang Tidak Dapat Berubah

Menurut convergentie-theorie, watak manusia itu dibagi menjadi dua bagian. Pertama, dinamakan bagian yang intelligible, yakni bagian yang berhubungan dengan kecerdasan angan-angan atau pikiran (intelek) serta dapat berubah menurut pengaruh Pendidikan atau keadaan. Kedua, dinamakan bagian yang biologis, yakni bagian yang berhubungan dengan dasar hidup manusia (bios = hidup) dan yang dikatakan tidak dapat berubah lagi selama hidup.
Yang disebut intelligible yang dapat berubah karena pengaruh misalnya kelemahan pikiran, kebodohan, kurang baiknya pemandangan, kurang cepatnya berpikir dan sebagainya. Dengan kata lain, keadaan pikiran, serta kecakapan untuk menimbang-nimbang dan kuat-lemahnya kemauan. Bagian yang disebut ‘biologis’ yang tak dapat berubah ialah bagian-bagian jiwa mengenai ‘perasaan’ yang berjenis-jenis di dalam jiwa manusia. Misalnya, rasa takut, rasa malu, rasa kecewa, rasa iri, rasa egoisme, rasa sosial, rasa agama, rasa berani, dan sebagainya. Rasa-rasa itu tetap ada di dalam jiwa manusia, mulai anak masih kecil hingga menjadi orang dewasa. Seringkali anak yang penakut, sesudah mendapatkan didikan yang baik akan segera hilang rasa takut tersebut.
Sebenarnya anak itu bukan berubah menjadi orang yang berwatak pemberani, hanya saja rasa takutnya itu tidak nampak karena sudah mendapatkan kecerdasan pikiran. Akibatnya, anak tersebut mulai pandai menimbang dan memikir sesuatu sehingga dapat memperkuat kemauannya untuk tidak takut. Hal inilah yang dapat menutup rasa takut yang asli dimiliki anak tersebut. Karena ketakutannya itu hanya ‘tertutup’ saja oleh pikirannya, maka anak tersebut terkadang diserang rasa takut dengan tiba-tiba. Keadaan ini terjadi jika pikirannya sedang tak bergerak. Kalau pikirannya tak bergerak seberat saja, maka ia seketika akan takut lagi menurut dasar biologisnya sendiri.
Demikian pula orang yang bertabiat pemalu, belas-kasihan, bengis, murka, pemarah dan sebagainya, selama ia sempat memikirkan segala keadaannya, maka ia dapat menahan nafsunya yang asli. Namun, jika pikirannya tidak sempat bergerak (dalam keadaan yang tiba-tiba datangnya), tentulah tabiat-tabiatnya yang asli itu akan muncul dengan sendiri.

6. Perlunya Menguasai Diri dalam Pendidikan Budi Pekerti

Perlunya Menguasai Diri dalam Pendidikan Budi Pekerti Watak biologis dan tidak dapat lenyap dari jiwa manusia sangat banyak contohnya. Kita juga dapat melihat dalam kehidupan setiap manusia. Misalnya,orang yang karena pendidikannya, keadaan dan pengaruh lainnya, seharunya berbudi dermawan. Namun demikian, jika ia memang mempunyai dasar watak kikir atau pelit, maka ia kan selalu kelihatan kikir, walaupun orang tersebut tahu akan kewajibannya sebagai dermawan terhadap fakir miskin (ini pengaruh pendidikannya yang baik). Semasa ia tidak sempat berpikir, tentulah tabiat kikir orang tersebut itu akan selalu kelihatan. Setidak-tidaknya kedermawanan orang itu akan berbeda dengan orang yang memang berdasar watak dermawan.
Janganlah pendidik itu berputus asa karena menganggap tabiat-tabiat yang biologis (hidup perasaan) itu tidak dapat dilenyapkan sama sekali. Memang benar kecerdasan intelligible (hidup angan-angan) hanya dapat menutupi tabiat-tabiat perasaan yang tidak baik, akan tetapi harus diingat bahwa dengan menguasai diri (zelfbeheersching) secara tetap dan kuat, ia akan dapat melenyapkan atau mengalahkan tabiat-tabiat biologis yang tidak baik itu. Jadi, kalau kecerdasan budi yang dimiliki orang tersebut sungguh baik, yaitu dapat mengadakan budi pekerti yang baik dan kokoh sehingga dapat mewujudkan kepribadian (persoonlikjkheid) dan karakter (jiwa yang berasas hukum kebatinan), maka ia akan selalu dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli dan biologis tadi.
Oleh karena itu, menguasai diri (zelfbeheersching) merupakan tujuan pendidikan dan maksud keadaban. ‘Beschaving is zelfbeheersching’ (adab itu berarti dapat menguasai diri), demikian menurut pengajaran adat atau etika. Kita sekarang sampai pada pembahasan ‘budi pekerti’ atau ‘watak’ diartikan sebagai bulatnya jiwa manusia. Dalam bahasa asing, disebut sebagai ‘karakter’, yaitu jiwa yang berasas hukum kebatinan. Orang yang mempunyai kecerdasan budi pekerti akan senantiasa memikirkan dan merasakan serta memakai ukuran, timbangan dan dasar-dasar yang pasti dan tetap. Watak atau budi pekerti bersifat tetap dan pasti pada setiap manusia, sehingga kita dapat dengan mudah membedakan orang yang satu dengan yang lainnya. Budi pekerti, watak, atau karakter merupakan hasil dari bersatunya gerak pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Perlu diketahui bahwa budi berarti pikiran-perasaan-kemauan, sedangkan pekerti artinya ‘tenaga’.
Jadi budi pekerti merupakan sifat jiwa manusia, mulai angan-angan hingga menjelma sebagai tenaga. Dengan adanya budi pekerti, setiap manusia berdiri sebagai manusia, dengan dasar-dasar yang jahat dan memang dapat dihilangkan, maupun dalam arti neutraliseeren (menutup, mengurangi) tabiat-tabiat jahat yang biologis atau yang tak dapat lenyap sama sekali karena sudah Bersatu dengan jiwa.

7. Jenis-Jenis Budi Pekerti

Setelah kita mengetahui bahwa budi pekerti seseorang itu dapat mewujudkan sifat kebatinan seseorang dengan pasti dan tetap, kita juga harus mengetahui pula bahwa tidak ada dua budi pekerti orang yang sama. Jadi, sama keadaannya dengan roman muka manusia, tidak ada dua orang yang sama. Meskipun, orang dapat membedakan budi pekerti manusia menjadi beberapa macam atau jenis (typen), sehingga orang dapat mempunyai ikhtisar tentang garis-garis atau sifat-sifat watak orang secara umum.
Pembagian budi pekerti menjadi beberapa jenis tersebut berdasarkan pada sifat angan-angan, sifat perasaan, dan sifat kemauan (analystis). kemudian, tiga sifat itu digabungkan menjadi satu (synthetis); sehingga mewujudkan suatu macam atau tipe budi pekerti yang pasti. Salah satu pembagian tipe budi pekerti yang terkenal disampaikan oleh almarhum Prof. Dr. Heymans, guru besar Universitas Groningen, yang sudah mengadakan penyelidikan disertai percobaan dan ditetapkan adanya 8 jenis budi pekerti orang. Ada pula yang membagi budi pekerti menjadi beberapa jenis berdasarkan hasrat seseorang. jadi, bukan pembagian analytis, akan tetapi pembagian secara global dan etis (etis = menurut rasa adab). Adapun Prof. Spranger membagi budi pekerti menjadi 6 jenis, yakni bersandar pada Hasrat orang pada:

1. Kekuasaan (machtsmensch),

2. Agama (religious mench),

3. Keindahan (kunstmensch),

4. Kegunaan atau faedah (nutsmensch atau econimisch mensch),

5. Pengetahuan atau kenyataan (wetenschaps) dan

6. Menolong mendermakan atau mengabdi (sociale mensch).
     

Selain dua macam pembagian tersebut terdapat pula teori-teori tentang jenis-jenis budi pekerti yang lain. Misalnya, menghubungkan sifat jasmani seseorang dengan watak orang tersebut (Prof. Kretschner), seperti ilmu firasat dari Imam Syafi’i. kemudian, terdapat pula pendapat yang mengukur budi pekerti orang dengan melihat cara seseorang memandang dirinya sendiri sebagai pusat pemandangan, atau sebaliknya, sebagai sebagian saja dari alam yang besar ini (Adler, Kunkel). Ada pula yang mengadakan pembagian introversen dan exroversen (Jung), yaitu orang yang selalu memandang ke dalam batinnya sendiri, atau yang memandang ke arah luar, dan demikianlah seterusnya.
Dalam soal watak atau budi pekerti manusia, jangan dilupakan bahwa tiap-tiap manusia mendapat pengaruh dari yang menurunkan (eferlijkheidsleer). Jadi , sama pula dengan menurunnya sifat-sifat jasmani dari tiap-tiap orang (sifatnya roman muka, rambutnya, warna kulitnya, pendek-tingginya badan, dan lain-lain). Jangan dilupakan juga bahwa seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, pendidikan dan segala pengalaman tersebut berpengaruh besar pada tumbuhnya budi pekerti.

8. Naluri Pendidikan

Setelah ikhtisar arti, maksud, dan tujuan Pendidikan dijelaskan pada uraian sebelumnya, sekarang akan dijelaskan bagian-bagian khusus: untuk permulaan mengenai syarat-syarat dan alat-alat dalam Pendidikan yang teratur. Disebut ‘yang teratur’, sebab Pendidikan itu sebenarnya berlaku di tiap-tiap keluarga dengan cara yang tidak teratur. Berlakunya Pendidikan dari tiap-tiap orang terhadap anak-anak terbawa oleh adanya paedagogis instinct, yakni keinginan dan kecakapan tiap-tiap manusia untuk mendidik anak-anaknya agar selamat dan Bahagia. Naluri atau instinct disebabkan pula oleh adanya naluri yang pokok (oerinstinct), yang bertujuan agar terwujudnya keberlangsungan keturunan (ngudhi-tuwuh), behoud van de sort).
Pendidikan yang dilakukan oleh setiap orang terhadap anak-anaknya, pada umumnya hanya berdasarkan pada cara-kebiasaan (taditie, sleur) dan seringkali dipengaruhi oleh perasaan yang berganti-ganti dari si pendidik. Dengan kata lain, tidak dengan ‘keinsyafan’ dan tidak tetap. Jika terdapat keinsyafan, maka keinsyafan itu hanya berdasar atas ‘perkiraan’ atau ‘rabaan’ belaka, yakni tidak berdasarkan pengetahuan. Andaikata ada dasar pengetahuan yang berasal dari ‘pengalaman’, sehingga hal ini berarti kurang luar (eenzijdig).
Demikianlah uraian mengenai konsepsi Pendidikan Ki Hajar Dewantara. Paparan ini sengaja diletakkan di edisi awal dari serangkaian tulisan mengenai implementasi Kurikulum sekolah penggerak sebagai sebuah pondasi pola pikir. Sebagai pondasi karena kurikulum sekolah penggerak dirancang salah satunya dengan semangat revitalisasi pemikiaran dan filosofi Pendidikan Bapak Pendidikan Republik Indonesia, Ki Hajar Dewantara.

(Disarikan dari : Dasar-Dasar Pendidikan dan Keluarga, Th. I No.1,2,3,4., Nov, Des 1936., Jan, Febr. 1937)

Bagikan artikel ini:

Beri Komentar

Syaiful Rahman Dasuki, S.Pd.M.M.Pd

- Kepala Sekolah -

Assalamu’alaikum Wr.Wb.Salam sejahtera buat kita semua.Asa yang terpatri untuk memantapkan visi: “Cerdas, terampil, berbudaya, religus dan berwawawan lingkungan”. Sebuah...

Album Galeri

Galeri
Galeri

Video

Berlangganan
Jajak Pendapat

Bagaimana Tampilan Website ini?

Hasil
Banner